TATA CARA SHOLAT TAHAJUD &
WITIR YANG BENAR: Keutamaan & keajaiban Sholat Lail/Sholat malam, Jumlah
Roka’at “Sholat Tahajjud”, Niat Sholat Tahajud, Waktu utama, Do’a/Bacaan Sholat
Tahajud, Kaifiyat & Tuntunan Sholat malam
Indahnya Qiyamul Lail, Sholat Tahajjud di Malam Hari
Qiyamul
lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud atau Sholat Malam adalah
salah satu ibadah yang agung dan mulia , yang disyari’atkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagai ibadah nafilah atau ibadah sunnah. Akan tetapi bila
seorang hamba mengamalkannya dengan penuh kesungguhan, maka ia memiliki banyak
keutamaan. Berat memang, karena memang tidak setiap muslim sanggup
melakukannya.
Andaikan
Anda tahu keutamaan dan keindahannya, tentu Anda akan berlomba-lomba untuk menggapainya.
Benarkah ?
Ya, banyak nash dalam Alquran dan Assunnah
yang menerangkan keutamaan ibadah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama:
Barangsiapa
menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, sholat
tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu
mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
(Al-Isro’:79)
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor
menerangkan: “At-Tahajjud
adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna
ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang
fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah)
bagi umat beliau.” (
lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda: “Sholat
yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah
malam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua
:
Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada
dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang
diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah
orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu
malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sebaik-baik
lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhuma, -ed) seandainya ia sholat di waktu malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479). Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi
seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).
Ketiga
:
Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh.
Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh.
Suatu hari pernah diceritakan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam
suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi setan di
kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga menceritakan: “Setan
mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul)
ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada
orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama
Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila
ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat,
terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan
bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam
hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal
shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keempat :
Keempat :
Ketahuilah, di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi
orang yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya
bila ia memohon ampunan kepada-Nya.
Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh
Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan
mengabulkan doa setiap malam.”
(HR Muslim No. 757). Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Rabb kalian turun setiap malam ke langit
dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang yang berdoa agar Aku
mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Barangsiapa
yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon
(sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa
kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar.
(Tafsir Ibnu Katsir 3/54)
Kesungguhan
Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa
tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti
suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya
seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa
terdengar oleh orang yang ada disekitarnya, ed.), sampai menjelang fajar
menyingsing.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah
pernah ditanya: “Mengapa
orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang
lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha
Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya.”
Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang setia
beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka
hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka
tinggal di dunia ini.”
Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada
tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.”
Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah
menegaskan: “Sesungguhnya
orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada
seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka
beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab : “Jangan
engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan
membangunkanmu di waktu malam.”(Tazkiyyatun
Nufus, karya Dr Ahmad Farid)
Pembaca yang budiman, inilah beberapa
keutamaan dan keindahan qiyamul lail. Sungguh, akan merasakan keindahannya bagi
orang yang memang hatinya telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala, dan tidak akan
merasakan keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik-Nya.
Mudah-mudahan, kita semua termasuk diantara hamba-hamba-Nya yang diberi
keutamaan menunaikan qiyamul lail secara istiqamah. Wallahu waliyyut taufiq.
Kaifiat/Cara
pelaksanaannya
Pertanyaan: Assalaamu’alaikum, ana (saya)
‘Abdullah ingin bertanya tentang bagaimana cara shalat tahajjud yang sesuai
dengan sunnah dan kapan ana bisa mendapati malam lailatul qodar? Bagaimana
tentang imsak, apakah ada atau tidak? Kapan batasannya sahur? Jazaakumullaahu
khairan. (08156177***)
Jawaban: Wa’alaikumus salaam warahmatullaah.
Shalat tahajjud (kalau di bulan Ramadhan
lebih dikenal dengan istilah tarawih) yang sesuai dengan sunnah adalah sebelas
raka’at sebagaimana diterangkan dalam hadits ‘A`isyah:
مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
مَا كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Nabi tidak pernah shalat malam baik di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at.” (HR. Al-Bukhariy no.1147 dan Muslim no.738)
Sebelas raka’at di sini termasuk di dalamnya shalat witir tiga raka’at yang bisa
dilakukan dengan dua cara:
shalat
dua raka’at dan salam kemudian shalat satu raka’at atau cara yang kedua,
shalat
tiga raka’at sekaligus dengan satu tahiyyat di raka’at ketiga kemudian salam.
Tapi cara pertama itulah yang lebih utama.
Dan dikerjakan dua-dua artinya setiap dua
raka’at diakhiri salam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar, dia
berkata: Seorang laki-laki berdiri lalu berkata: Ya Rasulullah, bagaimana
(caranya) shalat malam? Rasulullah bersabda:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“
Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749)
Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749)
Sehingga
shalat malam itu paling sedikit satu raka’at (yaitu shalat witirnya saja) dan
paling banyaknya 11 raka’at. Adapun
riwayat yang menerangkan bahwa Nabi shalat 13 raka’at maka 2 raka’atnya itu adalah
shalat ba’da ‘isya atau qabliyyah shubuh.
Dan
paling utama dilakukan pada sepertiga malam akhir. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1131, 4569 dan Muslim
no.1159)
Lebih detailnya bisa dilihat di dalam kitab Qiyaamu Ramadhaan atau Shalaatut Taraawiih karya Asy-Syaikh Al-Albaniy.
Lebih detailnya bisa dilihat di dalam kitab Qiyaamu Ramadhaan atau Shalaatut Taraawiih karya Asy-Syaikh Al-Albaniy.
Dari
Aisyah radhiallahu anha dia
berkata:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا.
فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat (lail) baik di dalam bulan
ramadhan maupun di luar ramadhan tidak pernah lebih dari 11 rakaat.
Beliau memulai dengan mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan
bagaimana baik dan panjangnya shalat beliau. Setelah itu beliau kembali
mengerjakan 4 rakaat, kamu tidak usah menanyakan bagaimana baik dan
panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.”
Aisyah berkata: Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku memang tidur namun hatiku tidak.”(HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Aisyah berkata: Lalu aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku memang tidur namun hatiku tidak.”(HR. Al-Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari
Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma dia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Sesungguhnya
puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud, sedangkan shalat yang
paling disukai Allah adalah juga shalat Daud alaihissalam. Beliau tidur
hingga pertengahan malam, kemudian bangun (untuk shalat lail) selama sepertiga
malam, lalu kembali tidur pada seperenamnya (sisa malam). Dan beliau
berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 1131)
Dari
Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia
berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang shalat malam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“
Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah dia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah dia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari untuk menunaikan shalat malam, biasanya beliau memulai shalatnya dengan dua rakaat ringan.” (HR. Muslim no. 767)
Waktu
shalat lail
Awal waktu shalat lail adalah setelah shalat isya dan akhir waktunya adalah setelah terbit fajar kedua. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha dia berkata,
“Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat sebelas rakaat pada
waktu antara selesai shalat isya sampai subuh.” (HR. Muslim no. 736) Juga berdasarkan hadits
Ibnu Umar di atas. Karenanya Ibnu Nashr berkata dalam Mukhtashar Qiyam Al-Lail
hal. 119, “Yang disepakati oleh para ulama adalah: Antara shalat isya hingga terbitnya fajar
(shadiq/kedua) adalah waktu untuk mengerjakan witir.”
Karenanya jika ada orang yang shalat
maghrib-isya dengan jama’ taqdim, maka dia sudah boleh mengerjakan shalat lail
walaupun waktu isya belum masuk. Sebaliknya, walaupun sudah jam 10 malam tapi
jika dia belum shalat isya, maka dia belum diperbolehkan shalat lail.
Hanya saja waktu yang paling ideal adalah dikerjakan selepas pertengahan malam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amr di atas.
Jumlah
rakaatnya
Shalat lail minimal 2 rakaat dan paling banyak tidak terbatas. Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas. Hanya saja, walaupun dibolehkan mengerjakan shalat lail tanpa ada batasan rakaat (selama itu genap), akan tetapi sunnahnya dia hanya mengerjakan 8 rakaat (plus witir 3 rakaat) berdasarkan hadits Aisyah yang pertama di atas. Disunnahkan juga untuk mengerjakan 2 rakaat ringan sebelum shalat lail -berdasarkan hadits Aisyah yang terakhir di atas-, sehingga total rakaatnya adalah 13 rakaat.
Beberapa Cara/Kaifiyat
melakukan Shalat Tahajud & Witir
1.
Sholat 13 raka’at dibuka dengan 2 raka’at ringan. Hal ini berdasarkan hadits hadits Zaid bin Kholid
Al-Juhany radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, beliau berkata :
“Sungguh saya akan memperhatikan sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau sholat dua raka’at ringan kemudian beliau sholat dua raka’at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka’at lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka’at”.
“Sungguh saya akan memperhatikan sholat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di malam hari maka beliau sholat dua raka’at ringan kemudian beliau sholat dua raka’at panjang, panjang, panjang sekali kemudian beliau sholat dua raka’at lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau sholat dua raka’at dan keduanya lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya kemudian beliau berwitir maka itu (jumlahnya) tiga belas raka’at”.
Dan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha riwayat Muslim, beliau berkata : “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam apabila beliau berdiri di malam hari untuk sholat maka
beliau membuka sholatnya dengan dua raka’at yang ringan”
2.
Sholat 13 raka’at, 8 raka’at diantaranya dilakukan dengan salam pada setiap 2
raka’at kemudian witir 5 raka’at dengan satu kali tasyahhud dan satu kali
salam.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Riwayat Muslim :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat di malam hari 13 raka’at, beliau witir darinya dengan 5 (raka’at) tidaklah beliau duduk pada sesuatupun kecuali hanya pada akhirnya”
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Riwayat Muslim :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat di malam hari 13 raka’at, beliau witir darinya dengan 5 (raka’at) tidaklah beliau duduk pada sesuatupun kecuali hanya pada akhirnya”
3. Sholat 11 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at dan witir dengan 1 raka’at.Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim, beliau berkata :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat antara selesainya dari sholat isya` sampai sholat fajr (sholat subuh) sebelas raka’at, Beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at”.
4. Sholat 11 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at kesembilan kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal tersebut diterangkan dalam hadits Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir riwayat Muslim, beliau bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang bagaimana sholat witir Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, maka beliau menjelaskan :
“… Maka beliau bersiwak, berwudhu’ dan sholat 9 raka’at beliau tidak duduk kecuali pada yang kedelapan kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu berdiri dan tidak salam. Kemudian beliau berdiri untuk kesembilan lalu duduk kemudian beliau berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya lalu beliau salam sengan (suara) salam yang beliau perdengarkan kepada kami kemudian beliau sholat dua raka’at setelah salam dalam keadaan duduk, maka itu 11 raka’at wahai anakku. Ketika Nabi Allah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah berumur dan beliau bertambah daging (Baca bertambah berat) maka beliau witir dengan 7 (raka’at) dan berbuat pada yang dua raka’at seperti perbuatan beliau yang pertama, maka itu adalah sembilam (raka’at) wahai anakku”
5. Sholat 9 raka’at, tidak duduk kecuali pada raka’at keenam kemudian tasyahhud tanpa salam lalu berdiri untuk raka’at ketujuh kemudian salam, lalu sholat dua raka’at lagi dalam keadaan duduk.
Hal ini di terangkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Berkata Syaikh Al-Albany : “Ini adalah beberapa kaifiyat yang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melakukannya pada sholat lail dan witir. Dan mungkin untuk ditambah dengan
bentuk-bentuk yang lain, yaitu dengan mengurangi pada setiap bentuk yang tersebut jumlah raka’at yang ia kehendaki dan bahkan boleh baginya untuk membatasi dengan satu raka’at saja.”
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menyebutkan beberapa bentuk lain :
6. Sholat 13 raka’at, yaitu salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at.
7. Sholat 8 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian ditambah witir 1 raka’at.
8. Sholat 6 raka’at dengan salam pada setiap 2 raka’at kemudian witir 1 raka’at.
9. Sholat 7 raka’at, tidak tasyahhud kecuali pada yang keenam kemudian berdiri sebelum salam
untuk raka’at ketujuh lalu duduk tasyahhud dan salam.
10. Sholat 7 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
11. Sholat 5 raka’at dan tidak duduk untuk tasyahhud kecuali di akhirnya.
12. Sholat 3 raka’at, duduk tasyahhud pada raka’at kedua dan salam lalu witir 1 raka’at.
13. Sholat 3 raka’at tidak duduk tasyahhud dan salam kecuali pada raka’at terakhir2.
14. Sholat witir satu raka’at.
Demikian beberapa kaifiyat yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Sholatut Tarawih hal. 86-94 (Cet. Kedua) dan Qiyamu Ramadhan hal. 27-30 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 3/42-48. Dan Syaikh Al-Albany juga menyebutkan kaifiyat lain yaitu sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at.
Sebagaimana
dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka’at)n jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka’at)”.
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidaklah menambah pada (bulan) Ramadhan dan tidak pula pada selain Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau sholat empat (raka’at) jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya, kemudian beliau sholat empat (raka’at)n jangan kamu tanya tentang baiknya dan panjangnya kemudian beliau sholat tiga (raka’at)”.
Namun ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama tentang kaifiyat ini.
Pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsaury dan Al-Hasan bin Hayy boleh melakukan Qiyamul Lail 2 raka’at sekaligus, boleh 4 raka’at sekaligus, boleh enam raka’at sekaligus dan boleh 8 raka’at sekaligus, tidak salam kecuali di akhirnya. Kelihatannya pendapat ini yang dipegang oleh Syaikh Al-Albany sehingga beliau menetapkan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4 raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam lalu 3 raka’at dengan sekali salam.
Dan disisi lain, jumhur Ulama seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnul Mundzir serta yang lainnya menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu ‘Umar, ‘Ammar radhiyallahu ‘anhuma, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakha’iy, Sa’id bin Jubair, Hammad dan Al-Auza’iy. Dan Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Ini adalah pendapat (Ulama) Hijaz dan sebahagian (Ulama) ‘Iraq.”, semuanya berpendapat bahwa sholat malam itu adalah dua raka’at-dua raka’at yaitu harus salam pada setiap dua raka’at. Ini pula pendapat yang dkuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz beserta para Syaikh anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan juga pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya
sehingga mereka semua menyalahkan orang
yang memahami hadits ‘Aisyah di atas dengan kaifiyat sholat 11 raka’at ; 4
raka’at sekaligus dengan sekali salam kemudian 4 raka’at dengan sekali salam
lalu 3 raka’at, dan menurut mereka pemahaman yang benar adalah bahwa 4 raka’at
dalam hadits itu adalah dikerjakan 2 raka’at 2 raka’at .
Tarjih
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Jumhur
Ulama
berdasarkan hadits hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Sholat
malam dua (raka’at) dua (raka’at)”
Hadits ini adalah berita namun bermakna
perintah yaitu perintah untuk melakukan sholat malam dua dua raka’at. Demikian
keterangan Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 11/323-324.
Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/95-98, 104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20.
Baca pembahasan tentang masalah di atas dalam : Al-Istidzkar 2/95-98, 104-106, Fathul Bari 4/191-198, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 7/199-200 dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/18-20.
Dan juga para Ulama berselisih pendapat
tentang dua raka’at setelah witir pada kaifiyat no. 4 dan 5, ada tiga pendapat
di kalangan ulama :
1. Sunnah dua raka’at setelah witir. Ini pendapat Katsir bin Dhomrah dan Khalid bin Ma’dan. Dan Al-Hasan dan Abu Mijlaz melakukannya, sedangkan Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebahagian orang-orang Hanbaliyah.
2. Ada rukhshoh (keringanan) dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al- Auza’iy, Ahmad dan Ibnul Mundzir.
3. Hal tersebut Makruh. Ini pendapat Qais bin ‘Ubadah, Malik dan Asy-Syafi’iy.
Tarjih
Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281.
1. Sunnah dua raka’at setelah witir. Ini pendapat Katsir bin Dhomrah dan Khalid bin Ma’dan. Dan Al-Hasan dan Abu Mijlaz melakukannya, sedangkan Ibnu Rajab menukil hal tersebut dari sebahagian orang-orang Hanbaliyah.
2. Ada rukhshoh (keringanan) dalam hal tersebut dan bukan makruh. Ini adalah pendapat Al- Auza’iy, Ahmad dan Ibnul Mundzir.
3. Hal tersebut Makruh. Ini pendapat Qais bin ‘Ubadah, Malik dan Asy-Syafi’iy.
Tarjih
Tentunya dalil-dalil yang menjelaskan tentang kaifiyat itu adalah hujjah yang harus diterima tentang disyari’atkannya sholat dua raka’at setelah witir. Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan kebanyakan Ahli Fiqh tidak mendengar tentang hadits ini (yaitu hadits tentang adanya dua raka’at setelah witir di atas,-pent.), kerena itu mereka mengingkarinya. Dan Ahmad dan selainnya mendengar (hadits) ini dan mengetahui keshohihannya dan Ahmad memberi keringanan untuk melakukan dua raka’at ini dan ia dalam keadaan duduk sebagaimana yang dikerjakan oleh (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapa yang melakukan hal tersebut tidaklah diingkari, akan tetapi bukanlah wajib menurut kesepakatan (para Ulama) dan tidak dicela orang yang meniggalkannya….”
Baca : Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/92-94, Fathul Bari Ibnu Rajab 6/260-264 dan Al- Mughny 2/281.
1 Yaitu disaksikan oleh malaikat rahmat.
Demikian keterangan Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim 6/34.
2 Tambahan dari penulis dan tidak tertera dalam Al-Muhalla.
3 Artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci.
2 Tambahan dari penulis dan tidak tertera dalam Al-Muhalla.
3 Artinya : Maha suci Yang Maha berkuasa lagi Yang Maha suci.
Bacaan
Dalam Sholat Tahajud
Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu
Ramadhan hal. 23-25 : “Adapun
bacaan dalam sholat lail pada Qiyam Ramadhan dan selainnya, maka Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menetapkan suatu batasan
tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk tambahan maupun pengurangan.
Kadang beliau membaca pada setiap raka’at sekadar “Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia
(sejumlah) dua puluh ayat dan kadang sekadar lima puluh ayat.
Dan beliau bersabda :
Dan beliau bersabda :
“Siapa yang sholat dalam semalam dengan
seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orangorang yang lalai”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia
terhitung dari orang-orang yang Qonit (Khusyu’, panjang sholatnya,-pent.) lagi
Ikhlash”
Dan
beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada suatu malam dan beliau
dalam keadaan sakit membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu surah Al-Baqarah,
Ali ‘Imran, An-Nisa`, Al- Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah.
Dan dalam kisah sholat Hudzaifah bin
Al-Yaman di belakang Nabi ‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian
An-Nisa’ kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan.
Dan telah tsabit (syah, tetap) dengan
sanad yang paling shohih bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay
bin Ka’ab sholat mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka
Ubay radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di
belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah
mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar.
Dan juga telah shohih dari ‘Umar bahwa
beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau
memerintah orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, orang yang
pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat.
Dibangun di atas hal tersebut, maka kalau
seseorang sholat sendirian disilahkan memperpanjang sholatnya sesuai dengan
kehendaknya, dan demikian pula bila ada yang sholat bersamanya
dari kalangan orang yang sepakat dengannya (dalam memperpanjang,-pent.),
dan semakin panjang maka itu lebih utama, akan tetapi jangan ia berlebihan
dalam memperpanjang sampai menghidupkan seluruh malam kecuali kadang-kadang,
dalam rangka mengikuti Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang
bersabda :
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam)”
Dan apabila ia sholat sebagai imam maka
hendaknya ia memperpanjang dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di
belakangnya, berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam :
“Apabila salah seorang dari kalian Qiyam
mengimami manusia maka hendaknya ia memperingan sholatnya karena pada mereka
ada anak kecil, orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang
yang mempunyai keperluaan. Dan apabila ia Qiyam sendiri maka hendaknya ia
memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya”.”
Demikian keterangan Syaikh Al-Albany
tentang bacaan pada Qiyamul lail, adapun dalam sholat witir, berikut ini
beberapa hadits yang menjelaskannya, diantaranya adalah hadits Ubay bin
Ka’ab riwayat Imam Ahmad dan lain-lainnya, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan “Sabbihisma Rabbikal A’la”, “Qul
Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu
berkata : “Subhanal
Malikil Quddus”3 tiga kali.” (Dishohihkan
oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’Ash-Shohih 2/160-161.)
Dan dalam hadits ‘Abdurrahman bin Abi Abza
riwayat Ahmad dan lainnya, beliau berkata :
“Sesungguhnya beliau membaca pada
witir dengan “Sabbihisma
Rabbikal A’la”, “Qul Ya Ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila beliau salam, belaiu berkata : “Subhanal
Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus.” dan beliau
mengangkat suaranya dengan itu .” (Dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam
Al-Jami’Ash-Shohih 2/161.)
Berdasarkan dua hadits di atas,
Ats-Tsaury, Ishaq dan Abu Hanifah menganggap sunnah membaca tiga surah di atas
dalam sholat witir. Imam Malik dan Asy-Syafi’iy juga menganggap sunnah hal
tersebut namun mereka dalam raka’at ketiga selain dari surah Al-Ikhlash juga
menganggap sunnah menambahnya dengan surah Al-Falaq dan surah An-Nas. Namun
hadits mengenai tambahan dua surah tersebut dianggap lemah oleh Imam Ahmad,
Ibnu Ma’in dan Al- ‘Uqaily, karena itu seharusnya orang yang sholat witir tiga
raka’at hanya terbatas dengan membaca surah Al-Ikhlash pada raka’at ketiga.
Syaikh Al-Albany dalam Sifat Sholat
An-Nabi hal. 122 (Cet. Kedua Maktabah Al-Ma’arif) juga menshohihkan hadits
bahwa membaca dalam raka’at witir dengan seratus ayat dari An-Nisa`.
Baca : Al-Mughny 2/599-600, Al-Majmu’
2/599 dan Syarhus Sunnah 4/98.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !