Tapi sebenarnya Allah itu melihat dan memberi penghargaan kepada kita dari sudut yang jauh beda dengan sudut pandang kita, Allah dan RasulNYA sangat-sangat menghargai terhadap kita para pekerja keras.
Andai kita tahu dan memahami betapa besar penghargaan Allah dan RosulNYA terhadap para pekerja keras, maka tak akan ada Demo Buruh yang mogok kerja atau Istri yang selalu menuntut fasilitas suami atau suami yang selalu menekan istri.
Kisah dibawah ini akan menumbuhkan RASA SALING HORMAT yang setulus-tulusnya…
Apa
yang sering kita lihat ketika sebuah acara silaturrahim ? ya ada sebuah
tradisi ‘ tata krama ‘ salah satunya adalah kegiatan bersalaman hingga
cium tangan terlihat di sana-sini. Istri mencium tangan suami, anak
mencium tangan orangtua, menantu mencium tangan mertua, murid mencium
tangan guru, bawahan mencium tangan atasan, karyawan mencium tangan
majikan, si miskin mencium tangan si kaya, dan seterusnya. Tapi kegiatan
mencium tangan yang berlangsung tersebut dalam pola yang sama dan
nyaris kaku. Maksudnya, yang lebih muda usianya, yang lebih rendah
statusnya, yang lebih lemah posisinya adalah pihak yang mencium tangan.
Jangan berharap kita melihat kebalikan dari hal itu terjadi, semisal
ayah mencium tangan anak, suami mencium tangan istri, majikan mencium
tangan bawahan, atau raja mencium tangan rakyat jelata. Mencium tangan
telanjur dianggap mewakili gengsi, status, hingga harga diri.
Lain halnya dengan Nabi Muhammad, manusia paling mulia utusan Allah,
justru mencium tangan dua manusia biasa. Tapi tangan-tangan itulah yang
dimuliakan Allah, sekaligus tangan-tangan itu pula yang membawa
pemiliknya menuju surga.
Seorang pria jelata mengadu kepada Nabi Muhammad. “Wahai Rasulullah,
lihatlah tanganku sudah bengkak, retak-retak dan hancur !” Lelaki itu
bekerja teramat keras demi memenuhi nafkah anak istrinya. Dia bekerja
memecah batu di tengah teriknya matahari gurun pasir. Jangan heran jika
tangannya menghitam, retak-retak, dan sangat kasar. Nasib telah
mengantarkan PEJUANG KELUARGA itu kepada kondisi yang memprihatinkan.
Rasul terharu mendengarnya. Lantas Nabi Muhammad meraih tangan yang
retak menghitam dan berdarah itu lalu menciumnya dengan sepenuh kasih
sembari berkata, “Tanganmu inilah yang akan mengantarmu menuju surga.”
Di lain pihak, Fatimah menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh
perjuangan. Putri bungsu kesayangan Nabi Muhammad itu dipersunting oleh
Ali bin Abi Thalib yang saleh yang berpengetahuan luas lagi gagah
berani, tetapi sangat miskin secara materi. Sejarah mencatat
kegemilangan Ali di setiap pertempuran membela kaum muslimin, sekaligus
mengibarkan kejayaan Islam. Kesibukan membela agama Allah membuatnya
mempunyai sedikit waktu untuk mencari nafkah bagi keluarga. jadilah
rumah tangganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Fatimah tak kalah berat perjuangannya dalam merawat keluarga. Dia harus
mencari dan membelah kayu bakar, menimba dan memanggul air, menggiling
gandum, membuat roti, memasak, dan mengerjakan segala urusan dapur
seorang diri. Di samping itu, dia juga mengasuh dan mendidik dua
putranya yang lincah, Hasan dan Husein. Kalau tidak sedang sibuk di
medan perang, Ali bin Abi Thalib turut membantu menggiling gandum dan
pekerjaan kasar lainnya, tapi itu sangat jarang terjadi karena negaranya
terlalu sering terancam oleh pihak-pihak lawan.
Gadis yang dulu menjadi idaman banyak pemuda terhormat itu sampai pada
kondisi menyedihkan. Fatimah menemui ayahnya sembari berkata, “Lihatlah
tanganku ini Ayah, Sudah kasar dan retak-retak..”
Pekerjaan rumah tangga yang berat di kondisi lingkungan yang berat pula
membuat tangan lembutnya berubah seperti tangan kuli. Fatimah hanya
meminta agar ayahnya memberikan seorang pembantu supaya pekerjaan
rumahnya menjadi lebih ringan.
Andai kita adalah ayah kandung Fatimah, tanpa pikir panjang kita pasti
segera menyiapkan pembantu buat sang anak. Bahkan, sebagian ayah akan
memarahi suami putrinya yang dipandang keterlaluan. Namun, Rasulullah
tidak melakukan hal demikian. Nabi Muhammad tidak memberikan pembantu
untuk putrinya, walaupun mampu menyediakannya.
Rasulullah meraih tangan Fatimah yang sudah kasar dan retak-retak, lalu
menciumnya sepenuh kasih seraya berkata, “lnilah tangan yang akan
mengantarmu menuju surga.” Rasulullah tidak ingin memanjakan putrinya
sehingga dia menjadi wanita yang berjiwa lemah.
Kepada kedua pemilik tangan yang hebat itu, Rasulullah menyuntikkan
semangat juang, nasihat yang menguatkan, dan penghargaan. Merekalah
orang-orang bahagia karena tangannya menghasilkan pahala dan tiket
menuju Sorga.
Dalam hidup, kita melihat jutaan tangan terluka demi mencari sesuap
nasi. Tangan-tangan itu dapat ditemukan pada sosok di rumah kita
sendiri; pembantu kita yang tak kenal lelah menyiapkan yang terbaik
untuk kita majikannya. Tangan-tangan itu juga dapat dilihat di kantor
atau perusahaan kita sendiri; para karyawan kita yang tetap bekerja
keras dalam kondisi amat terbatas. Tangan-tangan itu dapat ditemukan di
mana saja, tapi keberadaannya sering kita abaikan atau mungkin
tangan-tangan itulah yang sering kita sakiti.
Setiap amal perbuatan kita pasti akan kita pertanggungjawabkan di
hadapan Allah di akhirat kelak. Nah, boleh saja tangan kita dicium orang
atas alasan menghormati, namun kelak kita harus bertanggungjawab kepada
Allah SWT, betulkah tangan kita benar-benar tangan mulia yang selalu
melakukan kebaikan? Apakah tangan kita yang dicium ini betul-betul
berjuang di jalan Allah? Jangan-jangan orang-orang itu terpaksa mencium
tangan kita, atau justru tangan mereka yang sebetulnya lebih mulia dan
lebih pantas kita cium?
Boleh saja kita mencium tangan orang lain, karena itu toh juga dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi, apakah alasan kita mencium tangan itu
sudah selaras dengan alasan Rasulullah. Apakah tangan orang yang kita
cium itu benar-benar tangan yang berjuang di jalan Allah? Betulkah
tangannya setia membela kebenaran? Apakah tangan itu tangan seseorang
yang berbudi pekerti mulia?
Jangan-jangan kita mencium tangan orang yang sombong, yang perangainya
dibenci Allah. Sehingga saat kita mencium tangannya, kesombongannya
bertambah dan dia semakin lupa. Kita pun mencium tangannya bukan karena
menghormati, tapi karena takut kehilangan pekerjaan atau jabatan atau
yang lainnya. Kita tidak melakukannya dengan tulus.
Mengapa tangan orang-orang zalim kita cium dengan sangat hormat,
sedangkan tangan orang baik kita abaikan? Mengapa kita justru memuliakan
tangan-tangan yang selama ini menebar angkara murka?
Inilah kesempatan bagi kita untuk mengevaluasi diri. Tanyakan kepada
diri kita, sudah pantaskah kita dihormati? Atau sudah tepatkah
penghormatan yang kita lakukan? Tidak seperti menebar penghormatan
palsu, kita akan merasakan kebahagiaan jika menghormati orang-orang yang
tangannya setia menebar kebaikan, apa pun statusnya.
Ya, Kebahagiaan sejati diperoleh dengan pengorbanan dan memuliakan orang
yang berjuang di jalan kebenaran. Kebahagiaan tidak akan diperoleh
dengan merendahkan martabat diri di hadapan orang zalim.
“Apabila ada orang memberikan penghormatan kepada kamu, hendaklah
kamu jawab penghormatannya dengan yang lebih baik atau kamu jawab
penghormatannya itu (dengan yang sama). Sesungguhnya Allah menghitung
segala sesuatu.” (An Nisa’ 86).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !